Pendahuluan

Saat memasuki kawasan baru, salah satu hal yang ingin kita ketahui pertama adalah arah. Lalu lebih spesifik, arah kiblat (ka'bah). Beberapa cara yang paling sering untuk mengetahuinya adalah bertanya. Akan tetapi sayangnya jawaban yang datang tidak pernah (atau jarang) diklarifikasi kebenarannya. Ambillah contoh ketika pertama kali menjadi anak kos. Kita bertanya tentang arah kiblat untuk keperluan kita sholat selama di kosan, "Wahai Ibu Kos, yang manakah arah kiblat itu?". Apakah kita terima begitu saja arah mana yang dikatakan oleh si pemberi informasi? Bukankah wajib bagi kita untuk mengklarifikasinya? Saya katakan: ada ilmu yang bisa kita aplikasikan.



Pembahasan

Lihatlah tanda-tanda alam (dengan ilmu tentunya)Maksud saya di sini antara lain dengan melihat matahari maka kita dapatkan gambaran kasar arah barat-timur. Mungkin tidak relevan jika saya menuliskan: lihatlah rasi bintang ursa mayor dan itulah utara atau lihatlah rasi bintang layang-layang dan itulah selatan (karena bukan pengetahuan yang umum diketahui masyarakat awam).



Ada peristiwa alam yang secara pasti memberi tahu kita arah kiblat dengan akurat. Adalah peristiwa alam saat matahari berada di atas Mekkah yang saya maksudkan. Peristiwa ini hanya ada dua kali setahun yaitu bulan Mei dan Juli. Jadi mau tidak mau kita harus menunggu waktu itu datang untuk mengecek arah kiblat kita yang berdasar "katanya si ini", "katanya si dia", "kata ibu kos", atau "kata orang tua".



Alternatif lain untuk menentukan arah kiblat adalah dengan menghitung. Boleh kukatakan kalau itu adalah rumit. Sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya saja kita belum banyak belajar tentang itu (saya sendiri sudah lupa). Bagi yang tahu tentang segitiga bola, silahkan dihitung arahnya. Yang diperlukan untuk menghitung adalah koordinat tempat kita tinggal, koordinat Mekkah (Masjidil Haram), kompas, dan kalkulator.



Nah, untuk sementara, jika kedua hal di atas belum memungkinkan, kita bisa menyamakan arah kiblat kita dengan arah kiblat masjid. Bagaimana caranya?



Kebetulan pada subuh hari Senin (22/11) saya melihat ke arah mana mushola Mujahiddin menuju. Anggap saja saya melihat kubahnya dari halaman depan. Dibelakang kubah yang saya lihat, ada bulan yang sedang purnama. Nah, dari situlah kita bisa mematok arah bahwa pada keadaan itu (waktu dan tempat itu), menghadap bulan purnama adalah menghadap kiblat. Lalu saya pulang dan melihat bulan yang berketinggian sekitar 20O dari horizon (permukaan tanah). Dengan cara itulah saya menentukan ke arah mana saya sebaiknya menghadap ketika sholat.



Asumsi: mushola Mujahiddin telah mengarah ke ka'bah. Saya memastikan (meyakinkan) itu ketika Matahari berada di atas Mekkah Juli lalu.



Jika kebetulan pada suatu saat bulan tidak ada, kita bisa menggunakan benda apa saja yang terlihat di langit siang maupun malam. Tentu benda itu harus relatif tetap untuk masa yang tidak terlalu singkat. Di sini saya menganggap posisi bulan relatif tetap dalam waktu 3 menit (waktu saya berjalan dari mushola ke halaman rumah, kurang lebih).



Itu hal pertama yang saya ingin sampaikan melalui Luna (bulan). Hal kedua berkaitan dengan kepurnamaan bulan pada malam Senin (Diketahui: hari ini adalah hari Senin tanggal 22 November 2010). Jadi, tadi malam adalah purnama. Bagi yang memperhatikan, apakah Anda setuju? Saya juga melihat aplikasi Stellarium dan memastikan bahwa bulan terbit ketika matahari terbenam: tanda bulan purnama atau tanggal setengah.



Kita harusnya setuju bahwa tadi sekarang adalah tanggal 15 Dzulhijjah 1431 H. Mari hitung mundur kebelakang 5 hari. Minggu, Sabtu, Jumat, Kamis, Rabu: sesuai dengan tanggal 14, 13, 12, 11, 10 Dzulhijjah. Jadi, hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah 1431. Hari apa itu? Pemerintah menetapkan itu sebagai Hari Raya Idul Adha 1431 H, dan itu sesuai dengan keadaan di lapangan.



Perhitungan dan Pengamatan? Mana yang benar?Stellarium adalah sebuah aplikasi, dan oleh karena itu pastilah ia produk hitungan. Jadi, apa yang membuat beda? PadahalStellarium sendiri menampilkan data yang sama dengan pengamatan. (ini berkaitan dengan perbedaan pelaksanaan hari raya Idul Adha 1431 H di Indonesia karena perbedaan metode penentuan yang digunakan: perhitungan dan pengamatan)



Simpulan

Sebenarnya, pembahasan di atas bukanlah semata-mata tentang arah dan waktu yang banyak menjadi masalah. Tulisan ini saya maksudkan untuk lebih menekankan pentingnya kita melakukan cek dan ricek,b ahkan triple cek, atas suatu berita yang datang kepada kita.



*



Catatan kaki: Sebagai referensi sajaPada Oktober atau November 2008, saya (dan teman-teman) menghitung arah ka'bah dari Bandung. Hasil yang didapatkan adalah angka sekitar 250 ke utara dari arah barat. Nah kebiasaan orang di Indonesia itu menganggap bangunan menghadap ke barat, timur, selatan, atau utara. Tidak disadari keserongannya (ketidaktepatannya) dari empat arah kardinal yang umum itu. Jadi, kebiasaan yang sering dipakai orang adalah menyerongkan ke kanan beberapa derajat dari arah-yang-menurut-bangunan-itu-adalah-barat. Padahal belum tentu arah bangunan itu tepat ke salah satu dari empat arah utama kardinal.



Saya hanya menyampaikan ini, tidak ada maksud paksaan atas apapun mengingat bahwa yang penting adalah keyakinan kita menghadap ka'bah, bukan keakurantannya. Sekali lagi, lakukanlah periksa ulang terhadap berita yang datang pada kita, termasuk tulisan ini.